Bagi sebagian orang, terutama kalangan pendatang baru di pasar modal yang masih belum melewati 1 tahun pertamanya, mungkin saat ini IHSG adalah tempat menyeramkan. Baru saja dapat ilustrasi nabung saham dan probability keuntungannya, eh pasarnya dow. Lebih parahnya, baru saja beli saham yang sedang naik dengan harapan dalam jangka panjang masih akan terus naik harganya, ternyata setelah dibeli, kenaikannya berakhir. Sedih, betul?
Dan mari kita lihat seberapa parah IHSG sejak awal tahun 2018 ini.
Cukup parah, memang, jika IHSG masih berada di level 5500an, maka dalam waktu 8 bulan secara year to date IHSG menurun di atas 10%. Untungnya sekarang sudah kembali di 5700an. Dan seperti pada gambar di atas yang selalu kami tampilkan bahwa IHSG secara teknikal masih mempertahankan posisi breakout-nya.
Namun sebenarnya apakah benar krisis 10 tahun akan datang? Seberapa parah sih kondisinya? Dan apa yang sebaiknya dilakukan? Mari kita cermati bersama. Penulis tidak mewakili kepentingan pihak manapun dalam membuat artikel ini, tulisan ini hanya sebatas pandangan pribadi dan mengapa seharusnya di saat seperti ini kita malah sebaiknya makin galak menurut pandangan penulis.
IHSG melemah bukan karena masalah dalam negeri.
Penurunan IHSG kerap dikaitkan dengan kegagalan pemerintah dalam mengelola negara. Sebut saja yang paling sering kita baca/dengar: utang membengkak, USD tembus 14500, dan defisit neraca perdagangan. Namun jika diperhatikan lebih luas, “kegagalan” ini tidak disertai dengan penurunan kinerja emiten. Logisnya, jika ekonomi melemah, kinerja emiten pasti akan turut menurun karena dari menurunnya kinerja tersebutlah ekonomi akan dikatakan melemah. Hal ini sama seperti kesalahan orang-orang dalam menilai pelemahan IHSG akan disusul dengan pelemahan harga saham, padahal IHSG justru datang dari rata-rata harga saham.
Nah, kembali pada mengapa ekonomi kita saat ini terlihat buruk dan USD terus menguat? Jawabannya tentu karena faktor eksternal, seperti yang kita tahu, sejak Amerika Serikat dipimpin oleh presiden Trump, perekonomian mereka membaik. Walaupun kita sama-sama tahu, perbaikan perekonomian ini disertai dengan ancaman perang dagang dan kebencian dari negara-negara lain. Namun menguat, tetap menguat. Hasilnya? Mata uang sedunia (bukan cuma Rupiah) mengalami pelemahan terhadap USD. Jadi, saat ini tidak tepat jika menyalahkan pemerintah kita atas pelemahan ekonomi dan mata uang yang kita alami.
Trump, di luar dari sikap keras dan potensi perpecahan yang dibuatnya, rupanya sanagt sayang terhadap rakyatnya, make America great again, katanya. Hal ini akan kita pelajari dari data-data yang ada. Pada saat menjabat sebagai orang nomor satu di Amerika Serikat, Trump mewarisi defisit neraca perdagangan mencapai $46,13 miliar. Penyebabnya? Impor yang kebanyakan! Trump melihat hal ini dan sejak itulah digempur terus kenaikan tarif impor terhadap negara-negara lain. Tujuannya? Tentu bukan perang, walaupun hal ini memang dapat memicu perang namun tujuan utamanya adalah menyelamatkan produk dalam negeri. Industri dalam negeri akan mati jika impor membengkak.
Perlahan namun terbukti, defisit neraca perdagangan mulai menipis, angka pengangguran berkurang, kok bisa? Karena dengan kebijakan bea masuk, Trump mengincar perusahaan luar untuk membuka pabrik di AS (agar tidak kena bea masuk) sehingga membuka lapangan pekerjaan, lalu, kebijakan pemotongan pajak. Data-data ini bisa dilihat di situs Reuters. Yang ingin penulis sampaikan adalah adanya upaya pemerintah melakukan perbaikan setelah sebelumnya ekonomi di sana mengalami pelemahan.
Indonesia sudah menerapkan hal yang sama.
Jangan membaca apa yang penulis sampaikan tentang Trump sebagai alasan untuk mengatakan pemerintah Indonesia tidak becus atau tidak bisa berpikir sama dengan Trump.
Pembaca harus tahu, pemerintah sedang berupaya menggunakan cara lain yang ending-nya akan sama seperti yang sedang diincar Trump, namun tanpa membuat gaduh dunia. Namun harus diakui, cara Trump sejauh ini lebih efektif. Langkah pertama yang dilakukan Indonesia, seperti yang kita lihat sempat ramai diberitakan di media-media adalah pencaplokan Freeport, dan disusul blok Rokan yang sebelumnya dikuasai Chevron. Hal ini, akan menuju pada pembukaan lapangan kerja bagi warga negara Indonesia karena secara tidak langsung perusahaan tersebut sudah milik Indonesia maka Indonesia akan menjadi regulator dalam menentukan siapa yang berhak menjadi tenaga kerja di sana.
BI juga turut membantu, kalau saja tidak karena USD yang terus menguat, maka seharusnya suku bunga kita masih tetap, tidak menguat terus seperti sekarang ini. Karena suku bunga rendah akan menguatkan perekonomian. Saat inipun BI masih terlihat turut membantu terus. Setiap malamnya pada saat perdagangan USDIDR tidak se-aktif pada siang hari, BI melakukan intervensi. Dan hal ini membuat kita mendapatkan harapan setiap paginya dengan melihat data USDIDR yang menurun. Namun sayang, masih tetap kalah ketika memasuki siang hari dan karena daya beli BI lemah dibanding pelaku pasar yang menghendaki USD menguat, maka pada siang hari tersebut USDIDR terlihat rally kembali.
Namun dalam hal pajak, Indonesia agak terbalik dengan Amerika. Dimana Amerika memotong pajak, Indoensia malah menggalakkan pajak dimulai dengan adanya tax amnesty. Namun tetap harus dimengerti karena kondisi ekonomi kedua negara berbeda.
Indonesia tidak mengenakan bea masuk barang dari luar negeri, namun dengan cara yang lebih halus, langsung membuat daftar 500 produk yang akan disetop impornya. Dalam hal ini, tujuannya sudah mirip dengan apa yang dilakukan Trump melalu perang tarif, yaitu menyelamatkan produk dalam negeri dan sekaligus menyelamatkan CAD. Kita terlalu banyak impor yang tidak perlu, garam, beras, jagung, produk pertanian lain, dll yang sebenarnya di negeri sendiri berlimpah.
Kinerja emiten bagus dan harga saham turun? Jangan kabur.
Penulis melihat sudah banyak pesan-pesan beredar bahwa tahun 2008 akan terulang, jangan berinvestasi saham dulu, jangan ini, jangan itu. Seolah kondisi mengharuskan kita untuk menghindari pasar modal yang seharusnya menjadi peluang mendapatkan barang diskon. Pikir mudahnya, ada diskon barang di supermarket kita beli, masa’ ada diskon di stock market malah kabur? Dan yang kita beli bukan produk konsumsi yang sekali pakai habis atau ada masa depresiasinya seperti kendaraan. Yang kita beli adalah aset yang akan mengembangkan modal kita. Ingat kembali bahwa membeli saham = membeli perusahaan.
Bagaimana seorang Lo Kheng Hong bisa menilai saham dengan PER rendah adalah bagus dan bagaimana cara menemukannya? Penulis tidak bertanya langsung, namun pada saat seperti penulis dapat dengan mudah menemukan saham-saham dengan PER rendah yaitu ketika harga sahamnya rendah namun earning emiten tinggi. Dan benarlah, mungkin kejadian pada saham INKP dan TKIm sudah menjelaskan bahwa pada saat keinerja kedua emiten terus bertumbuh namun harga sahamnya diam saja maka di situlah letak “kesalahan” harganya. Hal ini bias diterapkan pada semua saham, tidak terkecuali saham blue chips yang juga turut menurun saat ini.
Berkaca dari tahun 2015.
Mungkin perbandingan ini akan tidak relevan diantara para analis (baik dari sekuritas maupun independen padahal kita sama-sama analis) karena pada tahun 2015, crash IHSG tidak disertai dengan pelemahan Rupiah yang signifikan. Namun melemah tetap saja melemah dan sama-sama pernah IHSG menurun melebihi 3% dalam sehari. Toh kemudian IHSG malah berhasil menembus 6000. Jadi apa salahnya menggunakan kondisi pemelahan yang ekstrem di masa lalu? Karena ini pasar saham yang sentimen kecil saja bisa membawa pengaruh besar, apalagi masalah eknomi.
Baik, jika melihat tahun 2015 IHSG kita juga pernah menurun, maka kita bisa pelajari bersama bahwa ada kemiripan tren yang mebguat setelah bulan Oktober.
Ya, inilah gambar chart-nya. Dari sini kita dapat pelajari bahwa tren pasar boleh lemah, namun juga boleh membaik kembali. Jika perlu kita bleh juga belajar dari kasus pelemahan bursa Turki yang membaik dalam beberapa hari setelah melemah cukup parah.
Kesalahan pelaku pasar pada umumnya adalah lupa bahwa masih ada hari esok. Melihat sebuah tren lalu tidak memikirkan apa yang harus dilakukan, dan lebih sering termakan emosi sendiri. Pada akhirnya pasar modal yang seharusnya memberikan return malah memberikan loss. lebih sering kesalahan datang dari diri sendiri, pengaruh pasar dan kesalahan memilih saham hanya memegang porsi kecil dari kesalahan umum pelaku pasar.
“Disebut pasar modal karena dapat melipatgandakan modal kita, kalau jadi merugi sampai habis maka namanya jadi pasar modar”
Sebagai penutup artikel ini, penulis melihat saat ini pasar modal kita, sebenarnya sedang memberikan peluang terutama bagi yang suka berinvestasi jangka panjang, peluang mendapat saham di harga rendah sedang terbuka lebar. Sedangkan bagi yang suka trading jangka pendek memang harus menunggu dulu sampai indikasi teknikal memberi konfirmasi pembalikan arah. But overall it’s a big chance to get undervalue stock at best price, don’t miss it!
Tren seperti ini mungkin baru terulang kembali setelah beberapa tahun, karena itu jangan menyerah dan jangan tinggalkan pasar modal. Atau setidaknya jika memang ingin meninggalkan pasar modal, lakukanlah setelah kekalahan Anda sebelumnya terbalas dulu baru tinggalkan.
Keberhasilan Anda ditentukan oleh langkah apa yang Anda ambil dari sekarang. Jangan patah semangat dan jangan lupa dengan tujuan. Jadikan kesalahan sebagai pelajaran dan semuanya akan kembali baik-baik saja.
Salam dari sahabatmu,
William Hartanto
Founder WH Project