Pasar global kian melemah, Amerika menguat terhadap hampir selalu mata uang dunia, Rupiah tidak lepas dari salah satu korban dari penguatan ini. Di kala ekonomi Indonesia tengah diperbaiki dengan pembangunan infrastruktur, rupanya kepemimpinan Jokowi harus menemui hambatan yang kuat yakni perang dagang Trump melawan dunia. Ya, dunia, bahkan Indonesia sempat hampir digugat 5T oleh negara adidaya tersebut. Namun untungnya berhasil lepas, dan Indonesia juga lepas dari pengenaan tarif impor baja.
Sampai sejauh itu Indonesia bisa dikatakan aman, namun sayangnya “serangan” terhadap mata uang Rupiah tidak berhenti, sampai pada saat artikel ini ditulis, Rupiah sudah menuju 14900 per dollar AS. Pemerintah tidak tinggal diam, berbagai upaya sudah dilakukan, dan yang terbaru adalah langkah tegas secara hukum yang akan menundak semua spekulator yang memanfaatkan pelemahan Rupiah dan menjadi terlibat dalam semakin melemahnya Rupiah.
Jika langkah ini berhasil, pun belum menjadi jaminan dalam waktu singkat Rupiah akan kembali menguat. Kekuatan domestik lawan sentimen global, jika dibuatkan skala mungkin 1:10, sangat kecil. Harus diakui, fundamental Indonesia boleh lebih baik dari Tukri Argentina Venezuela dan mungkin masih ada negara lain, namun tetap sulit melawan sentimen global.
Dan hasilnya, tentu terasa pada portofolio Anda saat ini, menurun, menurun, dan mungkin semakin menurun. Lalu di luar daripada sentimen global, Rupiah, atau krisis tidaknya negara ini, masih menarikkah pasar modal ini?
Banyak pihak yang mengatakan pasar modal sudah tidak aman, dan ideologi pasar modal sebagai tempat judi mulai berdengung kembali. “Jangan main saham, itu judi” katanya. Padahal jika berkaca dari tahun 2015, dimana unsur judinya? Kan, naik. Begitulah sudut pandang manusia selalu sesuai dengan apa yang terjadi. Jika penulis pernah menulis sebuah buku yang mengatakan investasi adalah seni melipatgandakan uang tanpa bekerja, mungkin sekarang sudah dibantah habis-habisan oleh para pelaku pasar yang merupakan pendatang baru. Tidak aneh, mungkin beberapa dari mereka ada yang baru saja beli saham, besoknya sudah turun.
Kembali, penulis membandingkan psikologi pasar pada tahun 2008 dengan 2018. Mencoba mencocokkan apa yang mereka bilang krisis sepuluh tahun, dan kecocokkannya antara kedua masa tersebut. Apakah ada?
Kesimpulan yang penulis dapat adalah:
- IHSG pernah sampai suspend pada tahun 2008 karena penurunan yang luar biasa, dan tahun 2018 belum ada (tidak menutup kemungkinan jika sampai investor asing pun ikut panik);
- Rupiah sama-sama melemah, namun pemerintah intervensi dan perjuangannya terlihat sekali, mungkin karena penulis belum punya data pada tahun 2008, namun perbedaannya tahun 2008 pelemahan Rupiah memang lebih cepat diatasi;
- Kesamaan pertama dari suku bunga, kesamaan kedua dari nilai tukar, dan sejauh ini menurut penulis sudah dalam proses perlawanan.
Tahun 2008, banyak saham yang menurun sampai pada harga Rp50,- dan tahun ini tidak, itu juga poin penting. Pentingnya adalah dengan memperhatikan bahwa masih ada emiten yang membukuan kinerja yang baik. Lalu dalam kurun waktu beberapa bulan, saham-saham yang dari Rp50,- tersebut naik ratusan hingga ribuan persen diiringi perbaikan kinerja, berarti akan ada restart pada laporan keuangan. Dimulai dari penurunan laba (beberapa mungkin merugi) lalu membaik, dan membaik, sampai akhirnya baru dicek fundamental emiten ternyata murah dan layak dibeli dari dulu. Siklus ini diprediksi akan terulang kembali meskipun krisis benar terjadi.
Mau bukti? Berapa banyak dari Anda yang saat ini atau setidaknya pernah menyesal tidak membeli INKP, TKIM, ERAA, INDY, BBCA, atau mungkin INDR (mengingat fundamental INDR memang bagus hanya teknikalnya yang jelek)? Pada saat “krisis” ini, penulis yakin saat ini lebih banyak yang concern pada penurunan portofolionya saja tanpa sadar di depan mereka sedang buanyakkk emiten yang fundamentalnya bagus dan harganya murah (diskon).
Setelah tahun 2008, banyak lahir tokoh pasar modal yang mengklaim mereka berhasil survive tahun 2008 dan pertumbuhan portofolio mereka tidak perlu dipertanyakan lagi, media pun turut menyorot hal itu sehingga jika Anda mau search Google pasti ketemu.
Tahun 2008 merupakan tahun yang lebih berat dari tahun ini, namun jika membayangkan mereka yang sukses bertahan di tahun itu, Anda mungkin berpikir sudah terlambat masuk pasar modal sekarang. Namun, kenyataannya tidak, dan penulis percaya bahwa kesempatan boleh datang dua kali.
Tahun ini adalah tahunnya. Mungkin penurunan harga saham tidak akan separah tahun 2008, namun jika Anda tidak menyerah, setidaknya Anda memiliki peluang untuk bernasib sama dengan para survivors 2008, dengan versi tahun 2018.
Kunci sukses di pasar modal, mungkin tidak ada. Belajar fundamental, bisa laporan palsu. Belajar teknikal, bisa sinyal palsu. Belajar bandarmology, bisa dijebak juga. Kunci sukses di pasar modal itu sejatinya tidak ada. Kesabaran menunggu harga saham naik bukanlah skill tapi gambling yang sebenarnya karena sangat mungkin saham yang dibeli akan membuat Anda harus menunggu bertahun-tahun namun hasilnya tidak sepadan, banyak yang seperti itu. Tapi kunci gagal di pasar modal ada, dan hanya 1. Yaitu ketika ANDA MEMUTUSKAN UNTUK MENYERAH.
So, jika Anda ingin sukses di pasar modal, Anda mungkin akan struggling mencari kunci suksesnya. Namun jika Anda tidak ingin gagal, maka jangan menyerah dan ingat kembali mengapa Anda masuk ke pasar modal dari awal. Quitter never win, winner never quit.