Artikel kali ini khusus membahas korelasi pasar dengan betapa “ngaco”nya ulasan-ulasan oleh pihak di luar sana yang menghubungkan pasar modal dengan pemilu.
Bagi Anda yang hobi membaca koran, baik untuk sekedar membaca maupun mencari informasi, pasti sudah sering membaca tentang kekhawatiran aksi massa 22 Mei menurunkan IHSG. Memang, penulis adalah salah satu yang mengatakan bahwa jika kondisi damai maka IHSG tidak akan terpengaruh sama sekali. Penulis harus akui bahwa ungkapan tersebut adalah sebatas mengikuti “aturan main” dalam memberikan komentar di media. Maka dalam artikel ini, penulis ingin mengungkap yang sebenarnya, yang tidak bisa penulis sampaikan di media, untuk Anda yang membuka artikel ini.
Kenyataannya adalah, pada tanggal 22 Mei 2019, IHSG hanya menurun sedikit sekali, bagi beberapa orang mungkin itu bukan sebuah penurunan. IHSG memang sempat ditakutkan oleh aksi massa. Banyaknya pelaku pasar yang terkena dampak dari ketakutan tersebut berhasil memberikan saham di harga murah bagi bandar. Hasilnya, setelah 22 Mei, IHSG mulai menguat.
Apa yang terjadi? Berikut adalah jawabannya.
Pertama, IHSG sudah menurun terlalu dalam.
Kita tahu bahwa IHSG sudah menurun sejak bulan Februari sampai tanggal 17 Mei 2019. Pelaku pasar, dibuat kecewa karena kemenangan Jokowi di pilpres tidak menghadirkan Jokowi Effect seperti pada 5 tahun yang lalu. Sempat terjadi kenaikan signifikan pada saham-saham konstruksi pada tanggal 18 April sebelumnya, setelah quick count memperlihatkan kemenangan Jokowi, namun setelah itu gagal total dan saham-saham turun sampai tanggal 17 Mei 2019. Satu bulan, namun terasa sekali. Kondisi diperparah dengan adanya trade war, dan aksi massa 22 Mei 2019. Untuk membuat investor domestik semakin khawatir, investor asing diperlihatkan net sell sampai melebihi pembelian mereka secara year-to-date (YTD). Anda mungkin sempat berpikir ingin meninggalkan pasar modal di saat seperti ini.
Namun dari apa yang penulis sampaikan di atas, harusnya Anda melihat sisi positifnya. Anda salah besar jika mempercayai banyaknya pihak dan blogger yang mengatakan bahwa IHSG akan hancur dengan perginya investor. Maksud penulis adalah, memang keluarnya dana asing membuat IHSG turun, namun bukan berarti mereka keluar dan tidak akan kembali lagi. Investor asing sejak awal hanya melakukan profit taking saja. Bagaimana melihatnya? Sederhana, IHSG sempat menurun terendah tahun lalu pada 5500an, dan sekarang ini IHSG masih di area 5800 s/d 6000. Jika IHSG ibarat saham, maka keluarnya dana investor asing, penjualan mereka tidak merugikan mereka sama sekali. Penulis tidak menjabarkan lebih lanjut mengapa IHSG tersebut bisa menjadi acuan karena Anda akan bingung. Selain itu, dana asing sudah keluar melebihi net buy YTD, dengan kata lain, daya dorong mereka terhadap IHSG sudah hamper habis untuk 1 tahun berjalan.
Anggaplah mereka sengaja mempermainkan IHSG, jika mereka masih mau mempermainkan IHSG pun, mereka harus membeli kembali, agar ada saham yang bisa diturunkan. Mungkin Anda bisa membantah ini dengan mengatakan bahwa mereka mendapat fasilitas short sell, namun kita tahu bahwa bursa efek Indonesia tidak akan diam saja jika ada spekulan yang dengan sengaja menjatuhkan IHSG. Praktik ini sangat mungkin, namun memerlukan skill tingkat tinggi.
Kedua, mengerti apa yang penting bagi capitalist.
Untuk mempermudah memahami ini, penulis mengajak Anda untuk mengerti dulu bahwa ada pihak yang lebih tinggi kelasnya dibanding investor. Selama ini Anda mungkin menganggap bahwa investor adalah mereka yang sangat menghargai nilai perusahaan. Dan tanpa sadar orang-orang seperti Lo Kheng Hong Anda anggap sudah jadi yang paling hebat di pasar modal. Baik, penulis setuju bahwa beliau adalah investor hebat, namun bukan satu-satunya yang sukses di pasar modal. Masih ada banyak pihak yang lebih sukses di pasar modal. Mereka adalah capitalist. Contoh, apa yang membuat Anda berpikir bahwa saham seperti ABBA yang laporan keuangannya merugi bisa naik dan layak dibeli?
Anda mungkin akan dengan mudah menjawab, karena ada sentimen kemenangan Jokowi dan Erick Thohir adalah timses untuk Jokowi, sehingga kemenangan Jokowi adalah sentimen bagi saham-saham pihak yang dekat dengannya.
Jika Anda berkata demikian, Anda benar, namun apakah ini berarti Anda menjadi investor? Atau apakah mereka yang membeli saham ABBA di harga 50 adalah investor? Karena penguatan yang terjadi, persentasenya sangat mengalahkan investor yang bermain dalam jangka panjang. Atau apakah Anda pernah berpikir bahwa saham lainnya yang saat ini Anda pegang dalam kondisi nyangkut itu layak investasi? Mungkin… namun Anda harus tahu bahwa hanya seorang capitalist yang akan dengan mudah menggunakan situasi dan emosi pasar (di luar segala ilmu pasar modal) yang bisa memperoleh keuntungan terbesar.
Anda harus mengerti, seorang capitalist hanya menggunakan 2 hal: pertama, saham yang tidak diminati, dan kedua, emosi investor ritel.
Sekarang kita kembali pada aksi 22 Mei dan IHSG. Mengapa 22 Mei 2019 IHSG tidak jatuh dan malah menguat? Karena para capitalist sudah selesai menampung barang-barang hasil penjualan investor asing di saat pelaku pasar lainnya ketakutan. Ketakutan apa? Trade war, rusuh, dan sisanya Anda bisa isi sendiri sesuai dengan berita apa yang membuat Anda takut pada waktu itu.
Sedangkan yang mereka butuhkan hanyalah kepastian. Kepastian dalam hal ini adalah hasil rekapitulasi dan tanggalnya. Tidakkah Anda merasa aneh ketika rekapitulasi diumumkan tanggal 21 Mei 2019 dan pasar sudah menguat sejak 20 Mei alias sehari sebelumnya? Bagi beberapa pembaca, Anda mungkin sudah berpikiran bahwa pada waktu itu, investor asing menguatkan IHSG agar bisa jualan? Kalau Anda berpikir begitu, Anda salah, investor asing sudah mengurangi net sell sejak lebih dari sepekan yang lalu. Jadi sejak awal tidak ada indikasi kepanikan lebih lanjut akan aksi 22 Mei 2019 ini.
Lalu, apakah mereka tidak takut dengan aksi 22 Mei?
Jika aksi 22 Mei adalah karena upaya pelengseran pemerintah (seperti tahun 1998) mungkin mereka akan takut, namun kali ini beda, aksi 22 Mei dilakukan karena adanya dugaan pemilu curang. Dan mereka para capitalist hanya membutuhkan hasil rekapitulasi resmi dari KPU, karena menurut penulis mereka tidak akan percaya dengan quick count dimana memang benar lembaga survey bisa tidak jujur, namun KPU belum pernah terbukti curang. Jangan salah, kesalahan dalam input data dan kecurangan adalah 2 hal yang sangat berbeda. KPU beberapa kali terbukti salah input, namun segera diperbaiki, dan menariknya hasil real count hampir sama dengan quick count yang sudah ada sebelumnya. Maka lengkaplah sudah persyaratan untuk kembali ke pasar modal. Apakah harus menunggu asing? Tentu tidak, mereka yang penulis sebut sebagai capitalist adalah mereka yang justru mempermainkan investor asing. Mereka justru lebih mudah mempermaikan harga saham karena status mereka sebagai investor lokal lebih mudah disamarkan oleh investor ritel yang cenderung mengejar saham di harga tinggi setelah mengkonfirmasi adanya akumulasi investor asing. Emosi investor ritel inilah yang menjadi sumber kemenangan mereka. Celah seperti inilah yang diperhatikan oleh mereka dan hamper tidak pernah diperhatikan oleh pelaku pasar lainnya.
Dan di saat investor asing melakukan net sell, investor ritel panik, mereka beli. Mereka tahu, aksi 22 Mei pasti dijaga dan segera dibereskan, itu sepenuhnya urusan polri. Ikutan panik tidak menyelesaikan masalah sehingga mereka fokus mencari peluang di pasar bahkan dalam kondisi yang dianggap menakutkan sekaligus.
Kemana investor asing saat ini? Menurut penulis, mereka sedang sibuk meliburkan diri karena memang memasuki summer holiday sekaligus mengamati perkembangan perang dagang. Sedangkan kita tahu, perang dagang efeknya tidak besar terhadap Indonesia.
Capitalist tidak membeli saham secara fundamental, mereka mencari sentimen, atau membentuk sentimen. Karena itu penulis tadi mencontohkan saham ABBA yang tidak bisa Anda perdebatkan fundamentalnya, harganya sempat berada di 50, namun naik. Dan Anda sendiri sudah tahu jawabannya. Jika Anda berani dan ingin berpikir seperti seorang capitalist, Anda nyaris tidak bisa merugi di pasar modal. Mereka mungkin tidak perlu membaca berita, karena kebanyakan media hanya membahas apa yang sedang trending. Suatu topik dapat dibahas berkali-kali sehingga pembaca bisa terpengaruh dan tidak berpikir secara netral lagi.
Yang mungkin membuat para capitalist ini melakukan penjualan adalah ketika gugatan ke MK mulai menunjukkan terbukti adanya kecurangan pemilu, karena ini menimbulkan ketidakpastian lagi. Namun jika tidak ada bukti kecurangan, maka bersiaplah kejar-kejaran harga saham di atas lagi sambal menunggu investor asing kembali di (estimasi) bulan September.
Hanya 2 hal di atas yang menjadi alasan dibalik penguatan IHSG dengan pelaku utama adalah mereka yang disebut sebagai capitalist. Saat ini penulis sedang bingung jika ditanya oleh media mengapa IHSG tetap naik pasca aksi 22 Mei 2019. Dan penulis harus kembali mengikuti “aturan main” sebagai narasumber media. Namun karena Anda sudah membaca artikel ini, Anda seharusnya sudah tahu apa yang harus dilakukan.
Peluang di pasar modal selalu ada, namun apakah peluang tersebut bisa menghasilkan uang untuk Anda atau tidak, itu kembali pada keberanian Anda mengambil langkah di pasar modal.
“If you think like a capitalist, you never loose, yet never wrong”