Tidakkah terasa bahwa sejak awal Februari volume perdagangan turun melebihi 50% seolah-olah habis kena Infinity Gauntlet? Ya, sebenarnya ini yang menjadi penyebab mengapa IHSG nampak rendah hati sekali dibanding bursa Negara lainnya sampai-sampai merendah terus.
Namun apa sebenarnya penyebab dari kecilnya volume ini?
Banyak tokoh, baik itu pakar, analis, blogger, vlogger sekalipun, sudah berusaha keras mengaitkan beberapa sentimen yang dianggapnya mampu menjadi penekan pasar. Namun mari kita pelajari apa yang sudah terjadi dengan teori mereka.
Pertama, AS – Iran, dan sentimen ini sudah berakhir. Kedua, perang dagang, pun sudah masuk fase I yang mana berpotensi berakhir juga. Ketiga, kejatuhan komoditas yang setelah ini akan terhubung dengan sentimen yang berikutnya. Penurunan harga komoditas akan selalu mengingatkan kita akan pentingnya sumber daya energi yang masih menahan perekonomian Indonesia.
Lalu terakhir, virus Corona dan kaitannya dengan ekonomi. Hal ini nampak menjadi sentimen yang paling masuk akal, dimana dengan diasingkannya kota Wuhan dan menurunnya ekonomi China, maka sebagai mitra dagang Indonesia maka Indonesia dikhawatirkan terkena imbasnya. But wait, bagaimana dengan pasar di China sendiri? Mari bicara dengan data.
Indeks Hang Seng yang dari negara asal virus Corona ini saja mampu rebound kembali sampai setidaknya setengah dari penurunan sebelumnya.
Indeks Shanghai juga mengalami hal yang sama. Jadi indeks “bursa Corona” saja sudah mulai berbalik arah.
Lah, IHSG?
Jangankan setengah, seperempat saja tidak sanggup.
Jika dikaitkan dengan efek Corona terhadap IHSG, kita tahu bahwa Indonesia sejauh ini dinyatakan aman. Terlepas dari dugaan bahwa alat pendeteksinya tidak ada, namun kita tahu gejala orang yang terjangkit virus ini, dan sejauh ini tidak ada. Jadi, Indonesia sebenarnya terlepas dari efek virus ini, dan sewajarnya IHSG pun aman. Mereka yang berusaha meyakinkan orang-orang bahwa Corona berpengaruh terhadap IHSG sudah membuat kesalahan besar. Tapi kenapa IHSG malah menurun terus?
Jawabannya kembali pada volume perdagangan yang kian menipis. Nampaknya beberapa pihak menutupi atau tidak menyadari juga bahwa sentimen pasar (IHSG) yang sebenarnya adalah pemblokiran akun selama masa pemeriksaan kasus Jiwasraya dan Asabri.
Pada awal pemberitaannya, sudah ada sekitar 800 akun yang diblokir, jika ada lebih? Kita belum tahu. Jika ceritanya 800 akun ini adalah investor ritel yang (maaf) dananya kecil, maka seharusnya volume IHSG masih tinggi. Namun sepertinya 800 akun diblokir ini memiliki kemampuan sebagai market maker alias dananya besar. Dan seperti yang kami sampaikan tadi, bisa saja sebenarnya ada lebih dari 800 akun yang diblokir sehingga jelas sudah mengapa volume transaksi seperti ini.
Memang, efeknya apa jika akun diblokir?
Berdasarkan info yang kami dapatkan, ketika akun diblokir, maka Anda hanya bisa login, namun tidak bisa transaksi. Uang terkunci seperti menyimpan saham gocap. Kondisi seperti ini tentu mengurangi transaksi, dan untuk para market maker selama situasi ini berjalan, mereka akan bermain aman dengan 2 cara:
- Kurangi transaksi, atau
- Cash out.
Beberapa investor ritel juga mungkin melakukan hal yang sama, sehingga mereka mengurangi transaksi atau menarik dananya untuk mencegah kalau-kalau akun mereka ikut terblokir dalam rangka pemeriksaan.
Kini, sentimen IHSG yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai “Krisis Kepercayaan Investasi”. Bayangkan setelah sekian lama rupanya di pasar modal ini ada banyak kasusnya, sedangkan selama ini mereka selalu diajarkan bahwa investasi adalah instrumen yang aman dan berguna mempersiapkan masa depan.
Hanya karena kasus ini. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan emiten, kecuali BUMN yang sedang banyak perombakan di sana sini. Emiten swasta harusnya aman, pun tetap kena aksi jual. Ibarat Anda kena saham gocap, jika naik ke 51 saja rasanya ingin cepat lepas dan tidak “bermain” di saham tersebut lagi, bukan?
Inilah jawaban sebenarnya. Namun kami menulis ini bukan sebagai bentuk protes terhadap aksi pemblokiran akun. Sebenarnya hal ini positif karena akan melahirkan iklim investasi yang aman dan terpercaya, namun waktu yang dibutuhkan untuk membangun kepercayaan tersebut tidak akan singkat.
Kabar baik lainnya adalah, kami percaya bahwa setiap downtrend adalah masa belajar yang baik. Kami yakin minat belajar pelaku pasar bertumbuh di saat ini. Mereka mungkin akan belajar analisis yang lebih baik seperti analisis fundamental, dan mulai belajar mencari timing yang tepat untuk membeli saham-saham dengan fundamental baik di saat harganya turun. Seperti biasanya, setiap strong downtrend yang dipercaya sebagai krisis, pasti lahir investor sukses “legend” baru. Anda hanya perlu bersabar sambil belajar memperdalam ilmu.
Berapa lama kasus ini akan mempengaruhi IHSG?
Ada satu dari 2 kejadian yang harus terjadi:
- Kasusnya beres, dalam arti benar-benar dibereskan, atau
- Muncul kasus baru di media yang mampu membuat pelaku pasar lupa dengan kasus ini.
Saat ini, selagi awareness pelaku pasar masih tinggi terhadap kasus Jiwasraya dan Asabri, maka potensi pasar masih sepi juga tinggi, dan bisa berkepanjangan.
Kesabaran masih menjadi kunci utama, karena tentunya, seperti yang kami sampaikan tadi. Saham yang emitennya tidak bermasalah, fundamental bagus, namun harga turun adalah peluang. Namun tentunya Anda tidak mungkin menadah terus setiap hari harga saham menurun, dana terbatas. Maka menunggu timing-nya adalah strategi kedua yang wajib dijalankan.
Kira-kira kapan?
Perkiraan kami, downtrend berakhir ketika berita bagus mulai bermunculan, dan kasus Asabri dan Jiwasraya mulai dilupakan, dan frekuensi perdagangan saham meninggi kembali, pertanda optimisme masyarakat dalam berinvestasi telah terbangun kembali.
Jadi, bersabarlah dan nikmati kesempatan langka ini!